BERANDA PARA PENGEMBARA KEHIDUPAN

Kehidupan adl proses pembelajaran tanpa henti,proses demi proses di lewati,kejadian demi kejadian di alami,rasa yg muncul pun silih berganti,semuanya mewarnai kanfas kehidupan ini,beragam warna yg ada menjadikan lukisan ini mjd indah dlm sebuah harmonisasi mahakarya sempurna,sebuah seni yg maha apik dirancang sang maha kreatif,mari kita memberi judul tiap gambar yg kita buat dg memberikan makna dan hikmah dari tiap kisahnya,agar pengembaraan kita memberi makna,mari melukis di kanfas kehidupan....

Senin, 05 April 2010

DENGARLAH BUNGA SEDANG BICARA

Kesenangan dan hobi untuk memelihara taman, bagi saya adalah salah satu obat kehidupan yang amat membantu. Hampir setiap pagi sebelum memulai kegiatan setiap hari, saya menyempatkan diri untuk melihat dan memegang-megang pohon dan bunga-bunga yang mekar di taman. Demikian juga di hampir setiap sore yang melelahkan. Ada sejenis dahaga tertentu yang terobati setelah memandangi dan memegang bunga atau pepohonan. Dalam kedalaman renungan tertentu, kadang terasa ada bunga yang sedang mau ‘berbicara’ ke arah manusia.

Cobalah Anda perhatikan, setiap bunga mengenal siklus tumbuh, mekar, layu dan kemudian mati. Mirip dengan api, setelah menyala, beberapa lama kemudian ia mati. Semua ini menimbulkan pertanyaan, kemanakah perginya bunga dan api setelah ia mati ? Bunga memang lebih jelas, karena setelah layu ia jatuh ke tanah, untuk memenuhi panggilan tugas dari sang Ibu untuk menjadi pupuk. Namun api, ia amat misterius. Begitu mati, menghilang tidak ketahuan jejaknya.

Anda bebas menafsirkan semua ini. Dan bagi saya, bunga dan api sedang ‘membisikkan’ kebijakan yang amat berguna bagi kita manusia. Bunga – sebagaimana juga kita – mengenal siklus lahir, tumbuh, layu dan kemudian mati. Ini hukum besi yang berlaku bagi bunga maupun manusia yang manapun. Bedanya, kalau bunga setelah mati selalu menunaikan tugas sebagai pupuk buat sang ‘Ibu’, adakah kita manusia juga mewariskan ‘pupuk-pupuk’ yang menyuburkan ?

Api juga ‘membisikkan’ sesuatu ke kita. Sebelum mati dan menghilang, ia senantiasa memberikan sinar yang menerangi. Namun manusia, sudahkah kita hidup dengan konsep-konsep menerangi ? Inilah rangkaian renungan yang perlu kita endapkan dari bunga dan api. Di titik ini, kerap saya merasa demikian bodoh dan tulinya. Baik bunga dan api, sudah kita temukan sejak pertama kali mengenal dunia. Tetapi, kenapa butuh waktu demikian lama untuk bisa ‘mendengarkan’ bisikan-bisikan bunga dan api ?

Mungkin benar keyakinan banyak orang tua, lebih baik terlambat dibandingkan tuli sama sekali. Untuk itulah, saya sedang mengajak Anda untuk mempertajam kepekaan pendengaran akan bisikan-bisikan bunga dan api. Bukan untuk menjadi manusia aneh dan kemudian dicurigai gila. Melainkan, memetik indahnya bunga melalui kebijakan yang dicoba untuk dikatakan ke kita manusia. Atau menikmati terangnya api, lewat kearifan penerangan yang telah dihadirkan. Sebagaimana bau harumnya bunga, serta terangnya sinar api, demikianlah wajah kehidupan orang yang telinganya peka pada bisikan-bisikan bunga dan api.

Mari kita mulai dengan pesan bunga yang senantiasa mengakhiri hidupnya sebagai pupuk. Lama saya sempat merenung tentang kearifan bunga. Tubuh kita memang akan membusuk jadi pupuk setelah melewati kematian. Bedanya dengan bunga yang hanya memiliki badan kasar, kita manusia memiliki jauh lebih banyak dari badan kasar. Keteladanan, cinta, kasih sayang, doa, pengabdian hanyalah sebagian dari pupuk-pupuk lain yang bernilai jauh lebih berguna dari sekadar badan kasar yang membusuk. Kalau pembusukan badan kasar, dibatasi ruang dan waktu, pupuk-pupuk manusia tadi bisa menembus ruang dan waktu.

Sebutlah nama-nama manusia yang telah tiada dan meninggalkan pupuk kehidupan yang jauh lebih besar dari sekadar badan kasar yang membusuk. Dari Baharudin Lopa, Mohammad Hatta, John Lennon sampai dengan Kahlil Gibran. Saya tidak tahu, apakah mereka dulu mendengarkan bisikan bunga dan api. Yang jelas, rangkaian pupuk kehidupan yang diwariskan mereka ke kita, memberi inspirasi dalam kurun waktu dan bentangan ruang yang tidak terbatas.

Mirip dengan bunga yang mengharumi ketika mekar, api yang menyinari ketika masih hidup, demikianlah inti-inti kebijakan yang mereka wariskan ke kita. Lebih dari itu, setelah matipun mereka masih ‘mendengarkan’ bisikan bunga dan api. Pupuk-pupuknya demikian menyuburkan. Dan berbeda dengan api yang sinarnya lenyap ketika mati, mereka masih bersinar tatkala badan kasarnya sudah ditelan bumi.

Putera bungsu saya yang masih balita pernah bertanya, kemanakah bunga dan api pergi ketika mereka sudah mati ? Pertanyaan ini memang kedengaran innocent, namun relevan untuk ditanyakan pada diri kita manusia. Anda bebas untuk percaya atau tidak percaya, seorang hypnotherapist bernama Michael Newton pernah melakukan eksperimen yang menarik. Sejumlah pasien yang dihipnotis dibawa oleh Newton ke dalam rangkaian pengalaman jauh ke belakang. Dari pengalamannya pernah meninggal di kehidupan sebelumnya, sampai dengan perjalanan-perjalanan jiwa yang lain. Sebagaimana yang dia tulis dalam buku karyanya yang berjudul Journey of Souls : Case Studies of Life Between Lives, diperlihatkan dengan metode wawancara, bagaimana orang-orang dalam keadaan terhipnotis bisa bertutur tentang perjalanan jiwa mereka yang amat unik dan berbeda.

Newton memang bukan seorang pakar agama dan hanya seorang terapis. Dia juga mengakui menjaga jarak terhadap konsep reinkarnasi. Tetapi apa yang dia temukan, memberikan sebuah pandangan, bahwa kita ini lebih dari sekadar gumpalan-gumpalan daging yang riwayatnya tamat ketika kematian telah menjemput.

Saya tidak tahu, apakah bunga dan api riwayatnya tamat setelah mati. Namun manusia sebagaimana dituturkan Newton, masih memiliki riwayat panjang setelah beberapa kali dijemput kematian. Sekaligus memberikan bahan perenungan, kemanakah kita sedang dan telah mengarahkan perjalanan jiwa ini ?.

Bunga dan api memang diam selamanya – kalau kita menggunakan konsep berbicara ala manusia. Namun, rangkaian renungan di atas, membuat saya terdiam sejenak setiap kali melihat bunga dan api. Untuk kemudian, melalui kepekaan-kepekaan mencoba membuka telinga hati yang kadang dibuat bersembunyi oleh kehidupan masa kini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar